Selasa, 27 September 2011

Naskah kuno walang sungsang. Dalam beberapa kisah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsangdianggap sama dengan Kiansantang, padahal dalam kisah lainnya Pangeran Cakrabuana banyak juga yang menyebut namanya dengan sebutan Arya Santang. Kiansantang dalam cerita lain sering dianggap sebagai seorang anak yang berupaya mengislamkan Prabu Siliwangi (ayahnya), sehingga terjadi peperangan. Padahal kejatuhan Pajajaran terjadi jauh-jauh hari pasca wafatnya Sri Baduga. Tidak ada alasan seorang raja yang memiliki tahta penuh harus ngalalana lantaran dikejar-kejar anaknya,
sementara dia sendiri masih bertahta sebagai raja yang berkuasa. Ada juga yang menyebutkan bahwa Kiansantang adalah nama lain dari Rajasangara yang dikebumikan di daerah Godog – Garut. Ia termasuk penyebar islam di Jawa Barat.


Dalam cerita lainnya Kiansantang dianggap tilem dan tetap kokoh ngagem agama leluhurnya. Ia dianggap benteng budaya sunda yang tak lekang ditelan waktu tak luntur ditelan masa. Tapi patut pula diakui, bahwa kesimpang siuran penafsiran Kiansantang membawa pada pemahaman yang kurang pas tentang sosok sejarah Cakrabuana, bahkan ada yang menafsirkan bahwa Kiansantang bukan Arya Santang. Namun mudah mudahan kedepan ada sejarawan yang mampu menguak tabir ini, tentunya melalui cara pemisahan antara mitos dan sejarahnya yang hakiki.


Siapa Cakrabuana ?
Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja) dengan Nyi Mas Subanglarang, putri dari Ki Gedeng Tapa, memperoleh putera dan putri, yakni Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara. Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah ibu maupun ayah, Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastukancana.


Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrsa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam. Ia pun alumnus dari Pesantren Quro yang didirikan oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan Hasanudin). Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang Pamanahrasa.


Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan ada perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada pula yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Surawiesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika masih menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis (1512 M) disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang di dokumentasikan dengan baik.


Yoseph Iskandar didalam bukunya menjelaskan, bahwa : pada suatu ketika, Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.


Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.
Tentang Rajasangara ini mungkin pada suatu waktu menimbulkan penafsiran yang berbeda, terutama ketika ia diindetifisr sebagai Kiansantang. Padahal nama Rajasangara sangat jarang disebut sebut dalam sejarah lisan dan kalah tenar dibandingkan dengan Kiansantang. Namun sangat sulit mencari sejarah yang ditulis resmi tentang Kiansantang.




Pengembaraan


Didalam cerita masa lalu, pengembaraan seorang anak raja guna menambah ilmu dan memperluas cakrawala bathinnya merupakan faktor penting bagi perkembangan kepribadiannya. Hal ini sama ketika dilakukan oleh Niskala Wastu Kancana yang mengembara ke wilayah Sumatera, atau Sri Baduga sebelum menduduki tahta Pajajaran. Dalam dokumen resmi pun demikian, seperti yang diketahui tentang Bujangga Manik, yang kelak dikemudian hari banyak dirujuk sebagai topografi untuk wilayah pada saat itu.


Demikian pula dalam kisah Walanagsungsang, sebagai seorang yang haus akan ilmu Pangeran Walangsungsang kemudian memohon pamit juga kepada Ki Gedeng Tapa untuk berguru mencari ilmu ditempat lain.
Sulit dibayangkan oleh para peminat sejarah yang kadung mendikotomi ageman ketika ada kisah Walangsungsang memperistri Indang Geulis, putri dari Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Hal ini terjadi ketika 


Walangsungsang melakukan pengembaraan ke wilayah Timur. Hingga pada suatu hari ia tiba di padepokan Ki danuwarsih, seorang pendeta agama Budha. Ki Danuwarsih adalah anak seorang pendeta Budha, Ki Danusetra yang berasal dari Gunung Dihyang (dieng), kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh, ketika ibukota Kerajaan Galuh masih di Karang Kamulyan, Ciamis.


Pemaknaan lainnya mungkin juga dapat diambil ketika Walangsungsang berguru tanpa ia pun harus meninggalkan agamanya. Yoseph Iskandar menafsirkan, bahwa : Mungkin saja ia ingin mengetahui agama Budha, hanya sebagai studi perbandingan.


Didalam buku yang sama Yoseph Iskandar menjelaskna pula, bahwa : tempat tinggal Ki danuwarsih, menurut naskah Pustaka nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4, hanya diterangkan di Parahiyangan bang Wetan. Ketika mengadakan “Penelitian Bahasa Sunda” di Kabupaten Pakalongan atas prakarsa Lemit Unpas tahun 1989, dikecamatan Paninggaran, terdapat beberapa situs, diantaranya makam keramat Embah Wali Tanduran ; makam Pajajaran di bukit Sigabung, dan makam Pajajaran di Pacalan Kampung Sebelas.


Pada saat dilakukan penelitian, sesepuh dan rakyat di Paninggaran, tidak pernah mengetahui asal usul nama daerahnya. Ada yang mengatakan Paninggarang itu berasal dari kata “menginggar-inggar” (penuh kegembiraan). Dalam bahasa Sunda sangat jelas bahwa arti dari kata paninggarang adalah pemburu dalam bahasa Indonesia.


Setelah diterangkan bahwa paninggaran itu artinya pemburu, para sesepuh menerangkan, sesungguhnya Embah Wali Tanduran itu dulunya seorang pemburu. Bahkan orang tua mereka (penduduk asli Paninggaran), semuanya mahir berburu. Mereka membuktikannya dengan memperlihatkan tombak-tombak pusaka dan panah pusaka peninggalan leluhurnya, yang khusus hanya digunakan untuk memburu.


Makam Embah Wali Tanduran sebenarnya bukan makam, tetapi pasarean atau patilasan, bekas Pangeran Cakrabuana. Begitu juga yang disebut makam Pajajaran di bukit Sigabung, adalah pasarean tempat pangeran Cakrabuan menyepi. Kalau makam Pajajaran yang berada di Pacalan Kampung Sebelas, itu tempat tinggalnya Pangeran Cakrabuana. Tentu masyarakat tidak akan berani merusak batu-batu yang berada disana, karena suka bertemu dengan harimau putih dari Pajajaran.


Pangeran Cakrabuan nama lain dari Walangsungsang. Menurut KH Syarifudin, patilasan-patilasan (situs) Pangeran Cakrabuana banyak terdapat tersebar di beberapa kecamatan. Setelah melihat peta Kabupaten Pekalongan, patilasan-patilasan tersebut dapat dihubung-hubungkan melalui garis lurus, terbentang antara Gunung Dieng (Dihyang) sampai Cirebon.
Berdasarkan identifikasi mungkin saja Walangsungsang pernah tinggal di padepokan agama Budha di dataran tinggi Dieng. Atau pada waktu itu dataran tinggi Dihyang (Dieng) masih termasuk wilayah “Parahiyangan bang Wetan”. Kalau indentifikasi tersebut “benar”, mungkin ketika Walangsungsang, Indang Geulis, dan Rara Santang, pulang ke Cirebon, melalui jalur dan melewati Paninggaran.


Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam 848 Hijriah, Walangsungsang membuka perkampungan baru dihutan pantai kebon pasisir, diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir. Nama tersebut diambil berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung Cereme yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora). Ketika Cirebon Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian disebut Cirebon Girang. Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi, dengan julukan Ki Cakrabumi yang kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.


Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah alias Pangeran Cakrabuana, mendapat nama baru, Haji Abdullah Imam. Begitu juga adiknya Rara Santang mendapat nama baru sebagai Hajjah Syarifah Muda’im.


Haji Abdullah Imam bermukim selama 3 bulan di Mekkah. Ketika dalam perjalanan pulang ke Jawa Barat sempat singgah di Bagdad (Irak) dan Cempa (Indo Cina). Di Cempa, Haji Abdullah Imam berguru kepada Syeh Ibrahim Akbar. Haji Abdullah Imam dijodohkan dengan puterinya dan dibawanya pulang ke Cirebon. Setibanya di Cirebon, isterinya Indah Geulis telah melahirkan seorang puteri kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.


Kemudian Haji Abdullah Imam memperisteri Ratna Riris, puteri dari Ki Danusela dan namanya diganti dengan Kancana Larang. Ketika Ki Danusela wafat, Haji Abdullah Imam terpilih menjadi kuwu yang kedua di Cirebon Larang. Selanjutnya setelah Ki Gedeng Tapa (kakeknya) wafat, Haji Abdullah Imam tidak mendapat warisan tahtanya, melainkan mendapat warisan harta kekayaan yang berlimpah.


Bermodal warisan harta kekayaan dari kakeknya, Haji Abdullah Imam mendirikan keraton yang kemudian diberi nama Keraton Pakungwati, diambil dari nama puterinya. Kemudian Haji Abdullah Imam mendirikan tentara kerajaan.
Hubungan Cirebon – Pajajaran
Memperhatikan puteranya telah berhasil membuat kerajaan Islam pertama di Pajajaran, Sri Baduga Maharaja mengutus Ki Jagabaya (Perwira Angkatan Perang Pajajaran) beserta pengiringnya, juga turut serta Rajasangara (adik bungsu Haji Abdullah Imam), untuk merestuinya. Di keraton Pakungwati, Haji Abdullah Imam dinobatkan sebagai raja daerah dengan gelar Sri Mangana.
Walangsungsang direstui ayahnya untuk menjadi penguasa Cirebon namun secara sukarela ia menyerahkannya kepada keponakannya, anak dari Rarasantang, yaki Syarif Hidayat. Sekalipun demikina ia pun masih mampu bertindak sebagai pelindung Cirebon.


Secara politis hubungan Pajajaran dengan Cirebon sangat tergantung dari hubungan Sri Baduga dengan Walangsungsang. Hal ini mengalami masa krisis ketika Syarif Hidayat, atas dasar saran para wali memproklamirkan Cirebon sebagai negara yang merdeka, dengan Raja pertamanya Syarif Hidayat. Pada masa itu Sri Baduga akan mengirimkan pasukan untuk menyerang Cirebon, namun berhasil dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi keraton), dengan alasan tidak baik seorang kakek memerangi anak (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayat). Cirebon akhirnya menjadi negara merdeka.


Memang kekhawatiran Sri Baduga terhadap Cirebon karena terlalu rapatnya hubungan dengan Demak, terutama pasca pernikahan keturunan Cirebon dengan Dengan dan gadirnya armada laut Demak di Cirebon. Padahal Pajajaran memiliki kekuatan pasukan darat namun sangat lemah di laut.


Hubungan dagang Demak – Cirebon makin menyulitkan perdagangan Pajajaran dengan dunia luar. Dalam teori politik ekonomi dimungkinkan hubungan Demak – Cirebon bukan hanya menyangkut masalah pengembangan agama, melainkan juga hubungan dagang. Untuk menjaga wilayahnya, Sri Baduga kemudian membuat perjanjian dengan Portugis. Hal yang sama dilakukan oleh Hasanudin (1546) ketika Banten dan Cirebon membantu Demak untuk menyerang Pasuruan, sama-sama negara islam.


Dalam melaksanakan perjanjian, dari Pajajaran diwakili oleh Surawisesa, putra mahkota. Dalam hikayat ini dimitoskan pula kisah Mundinglaya Dikusumah yang melawan Guriang. Kelak Guriang ini di tafsirkan sebagai orang-orang Portugis yang berbadan tinggi dan besar jika dibandingkan dengan orang sendiri.
Pasca wafatnya Sri Baduga keseganan Cirebon terhadap Pajajaran menjadi berkurang. Perang antara keduanya terjadi selama lima tahun. Di front lainnya Galuh masih merasa memiliki ikatan sejarang dengan Cirebon, karena Cirebon dahulu berada dibawah daulat Galuh, hingga Galuh melakukan penyerangan ke Cirebon.


Ketika Cirebon sedang mempersiapkan penyerangan yang ditujukan ke Daerah Talaga, peperangan terhenti ketika Syarif Hidayat mendapat berita, bahwa Walangsungsang pendiri Pakungwati dan pelindung Cirebon wafat (1529 M). Dengan demikian Cirebon kehilangan sosok pelindung yang dapat diandalkan.
Walangsungsang disebut-sebut memiliki andil yang dominan mencegah pertumpahan darah, ketika pasca pengadilan Syekh Siti Jenar yang dilakukan Walisongo dihukum mati, ia berhasil mencegah penguasa Cirebon untuk menghukum semua penganut Syi’ah.


Demikianlah kisah seorang pembaharu teureuh Sunda yang memiliki andil besar dalam kisah penyebaran agama islam dan membangun Kota Cirebon. Ia pun memberikan pelajaran bagi kita semua, bahwa tahta bukan segala-galanya. Sebagaimana yang ia contohkan ketika harus menyerahkan tahta Cirebon kepada keponakannya sendiri, yakni Syarif Hidayat.


Dari cerita ini pula kedepan diharapkan ada kupasan yang lebih mendetail tentang pembedaan pengaruh penyebaran islam dengan ekspansi dagang yang kadang harus bercaruk, sulit dipisahkan, sehingga sulit menarik benang merahnya. (cag heula).
Ditulis dalam Cerita Tentang Walangsungsang ( Prabu Kiansantang ) |. Hal yang kami anggap menarik dalam naskah Babad Cirebon suntingan SZ Hadisucipto (1979), adalah ringkasan naskah tersebut pada pupuh 1 dhandanggula berbunyi sebagai berikut. “Walangsungsang, putra mahkota Pajajaran lolos meninggalkan istana. Ia menuruti panggilan mimpi agar berguru agama nabi (Islam) kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa di bukit Amparan Cirebon dan berasal dari Mekah”.


Kemudian ringkasan pupuh 2 kinanti, “Rarasantang, adik Walangsungsang amat bersedih hati ditinggal pergi kakaknya. Ia terus-menerus menangis. Derita hatinya tak tertahankan lagi hingga akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana”.


Dua kutipan ringkasan pupuh dari naskah Babad Cirebon suntingan Sucipto tersebut memiliki kesamaan hakikat akan keteguhan hati kakak beradik Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang terhadap pentingnya nilai-nilai kebenaran yang harus segera mereka yakini sebagai sebuah pedoman hidup. “Dendam” akibat perlakuan yang menyakitkan hati dan dorongan untuk menemukan pencerahan pandangan hidup baru itulah tampaknya yang memberi kekuatan besar kepada mereka berdua untuk tetap tabah meski hambatan fisik berupa “gunung” dan “lembah” menghadang perjalanan mereka menuju dunia baru kelak, menjadi penghambat di tengah belantara Parahiyangan.


Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang kelak menjadi Pangeran Cakrabuana/Mbah Kuwu Cirebon pendiri Cirebon dan Syarifah Mudaim, ibunda Sunan Gunung Jati, pemuka agama terkemuka di wilayah Jawa bagian barat yang kelak menurunkan silsilah raja-raja Cirebon. Keduanya adalah sosok yang rela meninggalkan segenap fasilitas istana dalam statusnya sebagai putra mahkota kerajaan Pajajaran.


Hal yang dapat ditangkap dari kutipan dua naskah Babad Cirebon adalah, betapa kekuasaan bukanlah segala-galanya untuk seorang pendiri Cirebon Pangeran Walangsungsang dan ibu dari seorang ulama besar penyebar agama Islam di Jawa Barat Sunan Gunung Jati. Sesuatu yang menjadi panutan bersama, khususnya bagi para turunan silsilah mereka berabad kemudian, keluarga besar kasultanan Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan, menjadi raja (sultan) adalah amanah mulia sebagaimana leluhur mereka dahulu mengajarkannya melalui kutipan-kutipan teks Babad Cirebon.Pola Pemikiran seperti itu sampai sekarang merekat erat dalam jiwa orang Cirebon seutuhnya.


Menjadi raja bukanlah persoalan fisik administrasi kerajaan semata-mata. Namun ada yang lebih luhur sebagaimana tanda-tanda teks Babad Cirebon mewariskan “hutan belantara Parahiyangan” yang menghambat perjalanan Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang dalam mencari amanah “agama mulya” yang harus segera didapatkannya.


Harus didudukkan pada pemahaman akan hakikat keberadaan sultan yang hakiki, yakni sebagai pancer nilai-nilai. “Sultan” dengan segenap makna kekuasaan yang disandangnya susungguhnya lebih merujuk kepada pemaknaan hal-hal yang bersifat nation, kebangsaan. Ada kecenderungan pemahaman ideologi dalam konsep “kekuasaan” yang dipraktikkan Sunan gunung Jati dahulu. Artinya, ketika Sunan Gunung Jati memproklamasikan diri sebagai negeri berdaulat yang ditandai dengan penghentian pengiriman upeti ke Pajajaran sebagai sentra sistem negara federasi yang dipraktikkan selama ini, sesungguhnya semata didorong oleh hasrat-hasrat ekspansi ranah ideologi tertentu kepada ranah ideologi lain di Pajajaran. Ia amat berbeda dengan eskpansi dengan disertai hasrat penguasaan wilayah administratif politik yang bersifat kenegaraan.

0 comments: